TAHAPAN-TAHAPAN GERAKAN SOSIAL
Smelser [1962]
mengungkapkan, ada empat komponen dasar dari tindakan sosial (social action), yaitu:
(1) Tujuan-tujuan
yang bersifat umum (generalized ends)
atau nilai-nilai (values), yang
memberikan arahan yang paling luas terhadap perilaku sosial dengan tujuan
tertentu (purposive social behavior);
(2) Ketentuan-ketentuan regulatif yang mengatur
upaya-upaya pencapaian tujuan tersebut, yakni aturan-aturan yang terdapat dalam
norma (norms);
(3) Mobilisasi energi individual untuk mencapai
tujuan-tujuan yang telah dirumuskan dalam kerangka normatif. Jika yang kita
anggap sebagai aktor adalah individu, kita menanyakan bagaimana ia termotivasi; dan jika kita melihat dalam
tingkatan sistem sosial, kita menanyakan bagaimana individu-individu yang
termotivasi ini diorganisasikan dalam
peran-peran dan organisasi-organisasi;
(4) Fasilitas situasional yang tersedia, di mana
para aktor menggunakannya sebagai sarana. Fasilitas ini termasuk pengetahuan
tentang lingkungan, perkiraan konsekuensi dari tindakan, perangkat dan
keterampilan.
Komponen paling umum dari tindakan sosial terletak dalam sistem nilai.
Komponen ini begitu umum sehingga tidak punya spesifikasi norma, organisasi,
atau fasilitas tertentu untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Nilai itu, misalnya,
demokrasi, yang secara umum menjadi ideologi gerakan mahasiswa 1998. Meskipun
ada elemen-elemen yang sama dalam definisi demokrasi di berbagai negara seperti
sistem representasi, kekuasaan mayoritas, dan sebagainya, nilai ini tidak
memberikan pengaturan institusional yang persis.
Norma bersifat lebih spesifik ketimbang nilai. Norma bisa bersifat formal,
seperti ditemukan dalam peraturan hukum, bisa juga informal. Namun nilai dan
norma saja belum menentukan bentuk organisasi tindakan manusia, seperti: siapa
yang menjadi pelaksana upaya pencapaian tujuan ini, bagaimana tindakan-tindakan
para pelaksana ini distrukturkan dalam peran dan organisasi, semacam: gerakan
mahasiswa, pers mahasiswa, dan sebagainya. Mobilisasi motivasi ke dalam
tindakan terorganisasi adalah komponen ketiga untuk mewujudkan tujuan nilai dan
norma tadi
Komponen terakhir adalah fasilitas situasional. Ini bisa berupa sarana yang
mendukung, bisa juga hambatan yang mempersulit pencapaian tujuan konkret dalam
konteks peran dan organisasi. Komponen terakhir ini mengacu ke pengetahuan
seorang aktor tentang peluang dan keterbatasan lingkungan, dan dalam sejumlah
kasus, tentang pengetahuan terhadap kemampuannya sendiri dalam mempengaruhi
lingkungan. Pengetahuan ini bersifat
relatif, bagi kemungkinan pencapaian tujuan yang menjadi bagian dari
keanggotaannya pada suatu peran atau organisasi.
Berbagai teori sebelumnya telah
menunjukkan adanya kondisi-kondisi sosial, yang mengarah ke munculnya gerakan
sosial. Namun ini barulah tahapan paling dini yang dilalui suatu gerakan sosial
dalam periode waktu tertentu. Menurut Farley
[1992], gerakan sosial kemudian melalui tahap organisasi, disusul birokratisasi
atau institusionalisasi, dan akhirnya gerakan sosial cepat atau lambat akan
mencapai periode surut (decline).
1. Tahap Organisasi. Selama tahap
organisasi, penekanan suatu gerakan sosial adalah pada mobilisasi orang,
merekrut peserta baru, dan mencari perhatian media massa. Pada tahap ini, aksi
demonstrasi, mendatangi DPR, boikot, dan sebagainya merupakan hal umum.
Seringkali juga dilakukan upaya membangun koalisi dengan kelompok-kelompok lain
terkait atau yang memiliki tujuan serupa. Membangun organisasi yang layak
sangat krusial pada tahapan ini.
2. Tahap Institusionalisasi. Ketika mencapai
tahap ini, gerakan sosial telah melewati batas, dari posisinya sebagai “sesuatu
yang di luar kelaziman” menjadi bagian yang diterima oleh pola politik,
religius, atau budaya masyarakat. Kantor dan struktur birokratik diciptakan
untuk menuntaskan tugas-tugas gerakan. Jika tujuan-tujuan gerakan secara meluas
diterima dalam masyarakat, gerakan itu menjadi bagian yang biasa dari struktur
sosial masyarakat. Risiko bagi setiap gerakan yang telah mencapai tahap ini
adalah ia akan menjadi bagian dari struktur sosial yang pada awalnya ia tentang
dan mengambil beberapa karakteristik dari struktur tersebut.
3. Tahap Surut. Pada akhirnya,
sebuah gerakan mungkin mengalami kemerosotan. Ini bisa terjadi karena berbagai
alasan: hilangnya seorang pemimpin kharismatis,
pertentangan internal, merosotnya dukungan, atau mungkin karena gerakan
itu sudah mencapai sasaran dan tujuan, dan tidak berhasil mengembangkan
tujuan-tujuan baru. Meskipun kemerosotan di sini disebutkan paling akhir,
kemerosotan ini bisa terjadi di titik manapun dalam perkembangan sebuah gerakan
sosial. Kecuali jika tahap ini bisa diatasi, tahap surut ini biasanya menandai
berakhirnya sebuah gerakan sosial. Dalam sejumlah kasus, tahap surut ini bisa
berbalik jadi kebangkitan lagi, ketika kondisi-kondisi sosial menjadi kondusif
bagi babakan baru aktivitas gerakan.
Horton
dan Hunt [1993] merumuskan tahapan
gerakan sosial sebagai berikut:
(1) Tahap
ketidaktenteraman, karena ketidakpastian dan ketidakpuasan semakin meningkat;
(2) Tahap
perangsangan, yakni ketika perasan
ketidakpuasan sudah sedemikian besar, penyebab-penyebabnya sudah
diidentifikasi, dan saran-saran tindak lanjut sudah diperdebatkan;
(3) Tahap
formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana telah disusun,
para pendukung telah ditempa, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan;
(4) Tahap
institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih dari para
pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat, dan ideologi serta program telah
diwujudkan. Tahap ini seringkali merupakan akhir kegiatan aktif dari gerakan
sosial;
(5) Tahap
pembubaran (disolusi), yakni ketika
gerakan itu berubah menjadi organisasi tetap atau justru mengalami pembubaran.
Dalam kasus gerakan mahasiswa 1998, tahapan organisasi,
institusionalisasi, dan surut ini sudah dilalui. Tahapan surut mulai terlihat
sesudah Soeharto berhenti. Namun gerakan mahasiswa Indonesia tidak pernah
benar-benar berhenti, seperti kebangkitan dan aksi perlawanan mahasiswa yang
telah terjadi di bawah pemerintahan BJ Habibie, dan aksi-aksi sporadis di bawah
pemerintahan KH Abdurrahman Wahid. Walaupun aksi-aksi mahasiswa itu tidak
pernah mencapai puncak seperti periode Mei 1998.
Daftar Pustaka
Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.,. Sosiologi,
Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1993
Smelser,
Neil J. Theory of
Collective Behavior. London: Routledge and Kegan Paul and New
York: The Free Press of Glencoe, 1962.
izin mengambil referensi untuk tugas kuliah ya bang
BalasHapus