Jumat, 02 November 2012

Tahap Gersos



TAHAPAN-TAHAPAN GERAKAN SOSIAL


Smelser [1962] mengungkapkan, ada empat komponen dasar dari tindakan sosial (social action), yaitu:
(1) Tujuan-tujuan yang bersifat umum (generalized ends) atau nilai-nilai (values), yang memberikan arahan yang paling luas terhadap perilaku sosial dengan tujuan tertentu (purposive social behavior);
(2) Ketentuan-ketentuan regulatif yang mengatur upaya-upaya pencapaian tujuan tersebut, yakni aturan-aturan yang terdapat dalam norma (norms);
(3) Mobilisasi energi individual untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah dirumuskan dalam kerangka normatif. Jika yang kita anggap sebagai aktor adalah individu, kita menanyakan bagaimana ia termotivasi; dan jika kita melihat dalam tingkatan sistem sosial, kita menanyakan bagaimana individu-individu yang termotivasi ini diorganisasikan dalam peran-peran dan organisasi-organisasi;
(4) Fasilitas situasional yang tersedia, di mana para aktor menggunakannya sebagai sarana. Fasilitas ini termasuk pengetahuan tentang lingkungan, perkiraan konsekuensi dari tindakan, perangkat dan keterampilan.
Komponen paling umum dari tindakan sosial terletak dalam sistem nilai. Komponen ini begitu umum sehingga tidak punya spesifikasi norma, organisasi, atau fasilitas tertentu untuk mewujudkan tujuan-tujuannya. Nilai itu, misalnya, demokrasi, yang secara umum menjadi ideologi gerakan mahasiswa 1998. Meskipun ada elemen-elemen yang sama dalam definisi demokrasi di berbagai negara seperti sistem representasi, kekuasaan mayoritas, dan sebagainya, nilai ini tidak memberikan pengaturan institusional yang persis.
Norma bersifat lebih spesifik ketimbang nilai. Norma bisa bersifat formal, seperti ditemukan dalam peraturan hukum, bisa juga informal. Namun nilai dan norma saja belum menentukan bentuk organisasi tindakan manusia, seperti: siapa yang menjadi pelaksana upaya pencapaian tujuan ini, bagaimana tindakan-tindakan para pelaksana ini distrukturkan dalam peran dan organisasi, semacam: gerakan mahasiswa, pers mahasiswa, dan sebagainya. Mobilisasi motivasi ke dalam tindakan terorganisasi adalah komponen ketiga untuk mewujudkan tujuan nilai dan norma tadi
Komponen terakhir adalah fasilitas situasional. Ini bisa berupa sarana yang mendukung, bisa juga hambatan yang mempersulit pencapaian tujuan konkret dalam konteks peran dan organisasi. Komponen terakhir ini mengacu ke pengetahuan seorang aktor tentang peluang dan keterbatasan lingkungan, dan dalam sejumlah kasus, tentang pengetahuan terhadap kemampuannya sendiri dalam mempengaruhi lingkungan.  Pengetahuan ini bersifat relatif, bagi kemungkinan pencapaian tujuan yang menjadi bagian dari keanggotaannya pada suatu peran atau organisasi.
            Berbagai teori sebelumnya telah menunjukkan adanya kondisi-kondisi sosial, yang mengarah ke munculnya gerakan sosial. Namun ini barulah tahapan paling dini yang dilalui suatu gerakan sosial dalam periode waktu tertentu. Menurut Farley [1992], gerakan sosial kemudian melalui tahap organisasi, disusul birokratisasi atau institusionalisasi, dan akhirnya gerakan sosial cepat atau lambat akan mencapai periode surut (decline).
1.   Tahap Organisasi. Selama tahap organisasi, penekanan suatu gerakan sosial adalah pada mobilisasi orang, merekrut peserta baru, dan mencari perhatian media massa. Pada tahap ini, aksi demonstrasi, mendatangi DPR, boikot, dan sebagainya merupakan hal umum. Seringkali juga dilakukan upaya membangun koalisi dengan kelompok-kelompok lain terkait atau yang memiliki tujuan serupa. Membangun organisasi yang layak sangat krusial pada tahapan ini.
2.   Tahap Institusionalisasi. Ketika mencapai tahap ini, gerakan sosial telah melewati batas, dari posisinya sebagai “sesuatu yang di luar kelaziman” menjadi bagian yang diterima oleh pola politik, religius, atau budaya masyarakat. Kantor dan struktur birokratik diciptakan untuk menuntaskan tugas-tugas gerakan. Jika tujuan-tujuan gerakan secara meluas diterima dalam masyarakat, gerakan itu menjadi bagian yang biasa dari struktur sosial masyarakat. Risiko bagi setiap gerakan yang telah mencapai tahap ini adalah ia akan menjadi bagian dari struktur sosial yang pada awalnya ia tentang dan mengambil beberapa karakteristik dari struktur tersebut.
3.   Tahap Surut. Pada akhirnya, sebuah gerakan mungkin mengalami kemerosotan. Ini bisa terjadi karena berbagai alasan: hilangnya seorang pemimpin kharismatis,  pertentangan internal, merosotnya dukungan, atau mungkin karena gerakan itu sudah mencapai sasaran dan tujuan, dan tidak berhasil mengembangkan tujuan-tujuan baru. Meskipun kemerosotan di sini disebutkan paling akhir, kemerosotan ini bisa terjadi di titik manapun dalam perkembangan sebuah gerakan sosial. Kecuali jika tahap ini bisa diatasi, tahap surut ini biasanya menandai berakhirnya sebuah gerakan sosial. Dalam sejumlah kasus, tahap surut ini bisa berbalik jadi kebangkitan lagi, ketika kondisi-kondisi sosial menjadi kondusif bagi babakan baru aktivitas gerakan.
            Horton dan Hunt [1993] merumuskan tahapan gerakan sosial sebagai berikut:
(1) Tahap ketidaktenteraman, karena ketidakpastian dan ketidakpuasan semakin meningkat;
(2) Tahap perangsangan, yakni ketika perasan ketidakpuasan sudah sedemikian besar, penyebab-penyebabnya sudah diidentifikasi, dan saran-saran tindak lanjut sudah diperdebatkan;
(3) Tahap formalisasi, yakni ketika para pemimpin telah muncul, rencana telah disusun, para pendukung telah ditempa, dan organisasi serta taktik telah dimatangkan;
(4) Tahap institusionalisasi, yakni ketika organisasi telah diambil alih dari para pemimpin terdahulu, birokrasi telah diperkuat, dan ideologi serta program telah diwujudkan. Tahap ini seringkali merupakan akhir kegiatan aktif dari gerakan sosial;
(5) Tahap pembubaran (disolusi), yakni ketika gerakan itu berubah menjadi organisasi tetap atau justru mengalami pembubaran.
            Dalam kasus gerakan mahasiswa 1998, tahapan organisasi, institusionalisasi, dan surut ini sudah dilalui. Tahapan surut mulai terlihat sesudah Soeharto berhenti. Namun gerakan mahasiswa Indonesia tidak pernah benar-benar berhenti, seperti kebangkitan dan aksi perlawanan mahasiswa yang telah terjadi di bawah pemerintahan BJ Habibie, dan aksi-aksi sporadis di bawah pemerintahan KH Abdurrahman Wahid. Walaupun aksi-aksi mahasiswa itu tidak pernah mencapai puncak seperti periode Mei 1998.

Daftar Pustaka 


Horton, Paul B. dan Hunt, Chester L.,. Sosiologi, Terjemahan Aminuddin Ram dan Tita Sobari. Jakarta: Penerbit Erlangga, 1993
Smelser, Neil J. Theory of Collective Behavior. London: Routledge and Kegan Paul and New York: The Free Press of Glencoe, 1962.


1 komentar: